luka dan duka kubawa berlari
berlari
hingga hilang pedih peri
dan aku akan lebih tidak perduli
aku mau hidup seribu tahun lagi
@ ...Dalam kondisi jiwa yang bergejolak, serasa sumringah menikmati perjumpaan dengan pujangga muda asal Kota Medan, maka ku bagikan ini untuk tiap jiwa-jiwa yang terbakar oleh patriotisme...
by Rudi Juan Carlos Sipahutar
Masa Kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja sebagai pamongpraja. Dari pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. [1]
Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. [2] Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.[3]
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Masa Dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[4]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.[5]
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Akhir Hidup
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[6] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
AKU
Bila sampai waktuku
kumau tak seorang kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulanya terbuang
biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang
luka dan duka kubawa berlari
berlari
hingga hilang pedih peri
dan aku akan lebih tidak perduli
aku mau hidup seribu tahun lagi
Sumber: Wikipedia
Referensi:
1. Artikel tentang Chairil Anwar, awalnya dimuat di Suara Merdeka
2. http://www.seasite.niu.edu/flin/literature/chairil-anwar_lat15.html
3. http://www.kirjasto.sci.fi/chairil.htm
4. http://www.seasite.niu.edu/flin/literature/chairil-anwar_lat15.html
5. http://alwishahab.wordpress.com/2007/08/03/bertemu-pujaan-chairil-anwar/
6. “Chairil Anwar Legenda Sastra yang Disalahpahami”, Sajak.Blogspot, diakses Juni 2007
Referensi lain:
* Biodata Sastrawan Indonesia 1900-1949
* Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi