Selama tangan ini masih bisa memberi, hati ini masih bisa bercahaya, bibir ini masih mampu tersimpul senyum, dan jiwa ini masih melekat pada kulit dan tulang, maka ku tak takut pada AKUT..
by rudi juan carlos
Bingung, mungkin itu kata yang paling tepat saat ini yang mencitrakan kondisi ku sekarang…
Bukan bingung soal pekerjaan/pelayanan atau pendapatan perbulan yang tidak menetap. Tapi aku bingung setelah amanah di hati ini berakhir, terus aku harus melangkah kemana lagi? apalagi jika harus bermental idealis untuk berprofesi di bidangnya, mungkin 1001 batu loncatan dahulu baru bisa menapaki jalan yang diingini dengan nyaman. Aku telah jatuh cinta dengan aroma basah embun pagi yang menyeka kantuk ku di sejuknya udara segar di alam liar. Aku juga tak bisa berpaling dari suara riuh rendahnya aluna gita burung-burung di balik semak dan dedaunan. Lantas, kemana aku meski mencari mereka yang kini ku tak tahu rimbanya. Itu ku rasakan 20 tahun silam, dan kini cinta itu masih ku benamkan dalam-dalam di palung hati, bahwa suatu saat aku akan meminangnya menjadi bagian dari hidupku..
Aku bingung…
Sementara aku berkecukupan, anak-anak kecil disekitar ku berlarian sembari meminta belas ribuan uang yang mereka makan untuk hidup. Setiap kali, mata ini terlelap diantara tempat duduk yang sangat tidak nyaman, hanya menyisakan beberapa senti saja untuk bokong berehat ria, lagi-lagi suara serak yang entah telah berapa kali dikoar-koarkan untuk koin-koin sisa belanja senantiasa membuatnya terbelalak kembali.
Aku bingung…
Ketika Aku punya hak untuk hidup sehat, akan tetapi setiap kali menyusuri jalanan yang tak seberapa jauh, dada ini sesak seolah tersekat-sekat oleh dinding maya yang terbuat dari rantai karbon dan dwi oksigen. Hemoglobin memberontak mempertahankan keperawanannya dari cengkraman tangan polutan jahat. Aku pun terseok-seok karenanya. Anehnya, berjuta orang seakan bermesraan dengan kondisi ini, apa mereka sudah pada sakit ya…?
Aku bingung…
Tidak cuma tentang masa depan ku, tapi juga negeri Zamrud Khatulistiwa ini… memolesnya kembali berkilau tak bisa hanya tanganku sendiri, dan tak mungkin sekejap mata. Orang-orang superkaya tiap tahun semakin bertambah secara hukum relatif, begitu pula dengan para-para pewaris kemiskinan. Bedanya cuma pada penggunaan teori dan variabel waktu, yang bersifat absolut dan dalam hitungan hari. Perlahan-lahan, para lintah mulai semakin gemuk, mengisap nadir Ibunya sendiri. Dan sebagian lagi hanya mampu menjadi penonton dan pecundang melihat Ibunya diperkosa secara sadis.
Akut..
Sudah separah itukah? kondisi ku saat ini. Sungguh akupun tak mengetahuinya sejauh itu, pikirku jika aku kaya maka keluargaku tak lagi sulit untuk mengais dan mengukit nasib di atas batu, cukup ambil pena dan kertas kemudian “Cotcha…” ini jadi milik mu. Miris memang jika melihat kondisi ini, lantas apa yang bisa ku perbuat ketika akut ku semakin tak menentu?
Akut…tinggal menunggu mati;
Nada pesimistik yang berkorelasi nyata dengan kesadaran nurani yang menuju jalan kematiannya. Hanya Tuhan yang Maha Pemurah saja lah yang mampu memutar balikan kondisi ini. Seabad sudah, akut itu dipelihara dan dibesarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi dengan membawa satu dokrin, bahwa hidup ini hanya sekali, maka jadi tenarlah supaya ego dan nafsu mu terlampiaskan. Jadi Populerlah dengan ilmu dan titelmu yang setinggi langit. Jadi jayalah dengan kariermu yang maha dasyat. Peduli amat dengan mahluk-mahluk lain, maka jadilah ia akut yang sekarang…
Akut…Ku tak takut
Selama tangan ini masih bisa memberi, hati ini masih bisa bercahaya, bibir ini masih mampu tersimpul senyum, dan jiwa ini masih melekat pada kulit dan tulang, maka ku tak takut pada akut. Aku adalah perubah bagi ku dan negeriku, hingga akut itu membunuhku dalam kesadisan retorika para pewaris negeri yang tak kunjung puas menumpuk kekayaan, meraih kejayaan, dan berpesta pora atas nama kesenangan.....
Akut…tunggu aku!!